SAYA KARANG TARUNA, SAYA INDONESIA, SAYA PANCASILA;
Lahirnya Pancasila adalah judul pidato yang disampaikan oleh Soekarno dalam sidang Dokuritsu Junbi Cosakai (bahasa Indonesia: "Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan") pada tanggal 1 Juni 1945. Dalam pidato inilah konsep dan rumusan awal "Pancasila" pertama kali
dikemukakan oleh Soekarno sebagai dasar negara Indonesia merdeka.
Pidato ini pada awalnya disampaikan oleh Soekarno secara aklamasi tanpa judul dan baru mendapat sebutan "Lahirnya Pancasila" oleh mantan
Ketua BPUPK Dr. Radjiman Wedyodiningrat dalam kata pengantar buku yang berisi pidato yang
kemudian dibukukan oleh BPUPK tersebut. Sejak tahun 2017, hari tersebut resmi menjadi hari libur nasional.
LATAR BELAKANG;
Menjelang kekalahan Tentara
Kekaisaran Jepang di akhir Perang Pasifik, tentara pendudukan Jepang
di Indonesia berusaha menarik dukungan rakyat Indonesia dengan membentuk Dokuritsu
Junbi Cosakai (bahasa Indonesia: "Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan" atau BPUPKI, yang kemudian menjadi BPUPKI, dengan tambahan
"Indonesia"). Badan ini
mengadakan sidangnya yang pertama dari tanggal
29 Mei (yang
nantinya selesai tanggal
1 Juni 1945).Rapat
dibuka pada tanggal 28 Mei 1945 dan pembahasan dimulai keesokan harinya 29 Mei
1945 dengan tema dasar negara. Rapat pertama ini diadakan di gedung
Chuo Sangi In di Jalan Pejambon 6
Jakarta yang
kini dikenal dengan sebutan
Gedung Pancasila. Pada zaman Belanda, gedung tersebut
merupakan gedung
Volksraad (
bahasa Indonesia:
"Perwakilan Rakyat"). Setelah beberapa hari tidak mendapat titik
terang, pada tanggal
1 Juni 1945,
Bung Karno mendapat giliran untuk menyampaikan gagasannya tentang dasar negara
Indonesia merdeka, yang dinamakannya "
Pancasila". Pidato yang tidak dipersiapkan secara
tertulis terlebih dahulu itu diterima secara
aklamasi oleh
segenap anggota
Dokuritsu
Junbi Cosakai. Selanjutnya
Dokuritsu
Junbi Cosakai membentuk
Panitia Kecil untuk merumuskan dan menyusun
Undang-Undang Dasar dengan berpedoman pada pidato Bung
Karno tersebut. Dibentuklah
Panitia Sembilan (terdiri
dari
Ir. Soekarno,
Mohammad Hatta, Mr.
AA Maramis,
Abikoesno Tjokrosoejoso,
Abdul Kahar Muzakir,
Agus Salim,
Achmad Soebardjo,
Wahid Hasjim, dan
Mohammad Yamin) yang ditugaskan untuk merumuskan kembali Pancasila
sebagai Dasar Negara berdasar pidato yang diucapkan Bung Karno pada tanggal 1
Juni 1945, dan menjadikan dokumen tersebut sebagai teks untuk memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia. Setelah melalui proses persidangan dan
lobi-lobi akhirnya rumusan Pancasila hasil penggalian Bung Karno tersebut
berhasil dirumuskan untuk dicantumkan dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945,
yang disahkan dan dinyatakan sah sebagai dasar negara Indonesia merdeka pada
tanggal
18 Agustus 1945 oleh BPUPKI.
Dalam kata pengantar atas dibukukannya pidato tersebut, yang
untuk pertama kali terbit pada tahun
1947,
mantan Ketua BPUPKI Dr.
Radjiman Wedyodiningrat menyebut pidato Ir. Soekarno itu
berisi “
Lahirnya Pancasila”.
”Bila kita pelajari dan selidiki
sungguh-sungguh “Lahirnya
Pancasila
” ini, akan ternyata bahwa ini adalah suatu Demokratisch Beginsel,
suatu Beginsel yang menjadi dasar Negara kita, yang menjadi Rechtsideologie
Negara kita; suatu Beginsel yang telah meresap dan berurat-berakar dalam jiwa
Bung Karno, dan yang telah keluar dari jiwanya secara spontan, meskipun sidang
ada dibawah penilikan yang keras dari Pemerintah Balatentara Jepang. Memang
jiwa yang berhasrat merdeka, tak mungkin dikekang-kekang! Selama Fascisme Jepang berkuasa
dinegeri kita, Demokratisch Idee tersebut tak pernah dilepaskan oleh Bung
Karno, selalu dipegangnya teguh-teguh dan senantiasa dicarikannya jalan untuk
mewujudkannya. Mudah-mudahan ”Lahirnya Pancasila
” ini dapat dijadikan pedoman
oleh nusa dan bangsa kita seluruhnya dalam usaha memperjuangkan dan
menyempurnakan Kemerdekaan Negara.”
GARUDA PANCASILA; Burung garuda berwarna kuning emas mengepakkan sayapnya dengan gagah
menoleh ke kanan. Dalam tubuhnya mengemas kelima dasar dari Pancasila. Di
tengah tameng yang bermakna benteng ketahanan filosofis, terbentang garis tebal
yang bermakna garis khatulistiwa, yang merupakan lambang geografis lokasi
Indonesia. Kedua kakinya yang kokoh kekar mencengkeram kuat semboyan
bangsa Indonesia “Bhinneka Tunggal Ika” yang berarti “Berbeda-beda, Namun Tetap
Satu”. Secara tegas bangsa Indonesia telah memilih burung garuda sebagai
lambang kebangsaannya yang besar, karena garuda adalah burung yang penuh
percaya diri, energik dan dinamis. Ia terbang menguasai angkasa dan
memantau keadaan sendiri, tak suka bergantung pada yang lain. Garuda yang
merupakan lambang pemberani dalam mempertahankan wilayah, tetapi dia pun akan
menghormati wilayah milik yang lain sekalipun wilayah itu milik burung yang
lebih kecil. Warna kuning emas melambangkan bangsa yang besar dan berjiwa
priyagung sejati. Burung garuda yang
juga punya sifat sangat setia pada kewajiban sesuai dengan budaya bangsa yang
dihayati secara turun temurun. Burung garuda pun pantang mundur dan
pantang menyerah. Legenda semacam ini juga diabadikan sangat indah oleh
nenek moyang bangsa Indonesia pada candi dan di berbagai prasasti sejak abad
ke-15. Keberhasilan bangsa Indonesia dalam meraih cita-citanya menjadi negara
yang merdeka bersatu dan berdaulat pada tanggal 17 Agustus 1945, tertera
lengkap dalam lambang garuda. 17 helai bulu pada sayapnya yang membentang
gagah melambangkan tanggal 17 hari kemerdekaan Indonesia, 8 helai bulu pada
ekornya melambangkan bulan Agustus, dan ke-45 helai bulu pada lehernya
melambangkan tahun 1945 adalah tahun kemerdekaan Indonesia. Semua itu
memuat kemasan historis bangsa Indonesia sebagai titik puncak dari segala
perjuangan bangsa Indonesia untuk mendapatkan kemerdekaannya yang
panjang. Dengan demikian lambang burung garuda itu semakin gagah mengemas
lengkap empat arti visual sekaligus, yaitu makna filosofis, geografis,
sosiologis, dan historis. Burung garuda
merupakan mitos dalam mitologi Hindu dan Budha. Garuda dalam mitos digambarkan
sebagai makhluk separuh burung (sayap, paruh, cakar) dan separuh manusia
(tangan dan kaki). Lambang garuda diambil dari penggambaran
kendaraan Batara Wisnu yakni garudeya. Garudeya itu sendiri dapat kita
temui pada salah satu pahatan di Candi Kidal yang terletak di Kabupaten
Malang tepatnya: Desa Rejokidal, Kecamatan
Tumpang, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Garuda sebagai
lambang negara menggambarkan kekuatan dan kekuasaan dan warna emas melambangkan
kejayaan, karena peran garuda dalam cerita pewayangan Mahabharata dan Ramayana.
Posisi kepala garuda menengok lurus ke kanan. Jumlah bulu
melambangkan hari proklamasi kemerdekaan Indonesia (17 Agustus 1945), antara
lain:
§
Jumlah bulu pada
masing-masing sayap berjumlah 17
§
Jumlah bulu pada ekor
berjumlah 8
§
Jumlah bulu di bawah
perisai/pangkal ekor berjumlah 19
§
Jumlah bulu di leher
berjumlah 45
PERISAI: Perisai merupakan lambang pertahanan negara Indonesia. Gambar perisai
tersebut dibagi menjadi lima bagian: bagian latar belakang dibagi menjadi empat
dengan warna merah putih berselang seling (warna merah-putih melambangkan warna
bendera nasional Indonesia, merah berarti berani dan putih berarti suci), dan
sebuah perisai kecil miniatur dari perisai yang besar berwarna hitam berada
tepat di tengah-tengah. Garis lurus horizontal yang membagi perisai tersebut
menggambarkan garis khatulistiwa yang tepat melintasi Indonesia di
tengah-tengah.
EMBLEM: Setiap gambar emblem yang terdapat pada perisai berhubungan dengan
simbol dari sila Pancasila.
BINTANG TUNGGAL: Sila ke-1: Ketuhanan Yang Maha Esa. Perisai hitam dengan sebuah bintang
emas berkepala lima menggambarkan agama-agama besar di Indonesia, Islam,
Kristen, Hindu, Buddha, dan juga ideologi sekuler sosialisme.
RANTAI EMAS: Sila ke-2: Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab. Rantai yang disusun atas
gelang-gelang kecil ini menandakan hubungan manusia satu dengan yang lainnya
yang saling membantu. Gelang yang lingkaran menggambarkan wanita, gelang yang
persegi menggambarkan pria.
POHON BERINGIN: Sila ke-3: Persatuan Indonesia. Pohon beringin (Ficus benjamina)
adalah sebuah pohon Indonesia yang berakar tunjang – sebuah akar tunggal
panjang yang menunjang pohon yang besar tersebut dengan bertumbuh sangat dalam
ke dalam tanah. Ini menggambarkan kesatuan Indonesia. Pohon ini juga memiliki
banyak akar yang menggelantung dari ranting-rantingnya. Hal ini menggambarkan
Indonesia sebagai negara kesatuan namun memiliki berbagai akar budaya yang
berbeda-beda.
KEPALA BANTENG: Sila ke-4: Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam
Permusyawaratan/Perwakilan. Binatang banteng (Latin: Bos javanicus)
atau lembu liar adalah binatang sosial, sama halnya dengan manusia cetusan
Presiden Soekarno dimana pengambilan keputusan yang dilakukan bersama
(musyawarah), gotong royong, dan kekeluargaan merupakan nilai-nilai khas bangsa
Indonesia.
PADI KAPAS: Sila ke-5: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Padi dan kapas
(yang menggambarkan sandang dan pangan) merupakan kebutuhan pokok setiap
masyarakat Indonesia tanpa melihat status maupun kedudukannya. Hal ini
menggambarkan persamaan sosial dimana tidak adanya kesenjangan sosial satu
dengan yang lainnya, namun hal ini bukan berarti bahwa negara Indonesia memakai
ideologi komunisme.
MOTTO: Pita yang dicengkeram oleh burung garuda bertuliskan semboyan negara
Indonesia, yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Bhinneka Tunggal Ika berasal dari
kalimat bahasa Jawa Kuno karangan Mpu Tantular yang berarti “Walaupun
berbeda-beda tetapi tetap satu” yang menggambarkan keadaan bangsa Indonesia
yang terdiri atas beraneka ragam suku, budaya, adat-istiadat, kepercayaan,
namun tetap adalah satu bangsa, bahasa, dan tanah air.